Tokoh Jurnalistik Indonesia [Andi Abdul Muis]

    Andi Abdul Muis lahir pada tanggal 4 Desember 1929 di Pulau Kalukan, Kabupaten Punkup, Provinsi Sulawesi Selatan, bungsu dari dua bersaudara. Ayahnya, Andi Makkasau adalah seorang bangsawan yang memimpin sebuah kerajaan kecil di Pannyilli, Kabupaten Bone Provinsi Sulawesi Selatan. Ibunya, Puang Niati juga seorang bangsawan di Kabupaten Maros. Suatu ketika ayahnya frustasi dengan kehidupan feodal, kemudian memberikan kekuasaan kontrol kepada sepupunya, kemudian pindah ke berbagai tempat di Indonesia untuk mencari pengalaman, meski akhirnya ia kembali ke Makassar. Muis menyelesaikan pendidikan dasarnya di Standard School di Makassar pada tahun 1937. Setelah itu, ia masuk ke Sekolah Berlayar Kaigun yang dikelola oleh Angkatan Laut Jepang. Ketika pasukan Sekutu melancarkan serangan terhadap Pusat Pertahanan Jepang di Makassar, Sekolah Kaigon dipindahkan ke kota Pare-pare, 120 kilometer sebelah utara Makassar. Namun karena ketidakpastian di Pare-Pare, proses pengajaran tidak dapat berjalan dengan lancar. Akhirnya, Muis kembali ke daerah tulang leluhurnya.



    Di tengah kesunyian Desa Pannyilli, Muis mulai menulis puisi perjuangan. Namun, seperti yang dia akui sendiri, kata-kata saat itu tidak menyentuhnya. Muis tidak tahan dengan keheningan dan terinspirasi dari semangatnya untuk terus belajar, sehingga ia memutuskan untuk kembali ke Kota Makassar. Muis mulai menulis esai dan puisi di majalah Budaya terbitan Makassar saat berusia 16 tahun di bangku SMA. Lulus SMA di Makasar pada 1956, Muis melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial (FH-IPK) Universitas Indonesia. Namun, karena situasi keuangan yang tidak menguntungkan, pendidikan tersebut belum selesai. Muis muda kemudian mencari nafkah. Bakat menulisnya mendorong Muis menjadi jurnalis lepas untuk berbagai media. Setiap hari, ia harus bersepeda puluhan kilometer dari kediaman Kampung Sawah Besar untuk menyebarkan karyanya ke berbagai media seperti Sinar Harapan, Landscape dan Abadi. Untuk setiap artikel, dia dibayar 100 hingga 250 rupiah. Saat itu harga makanan ringan adalah 50 rupiah.

    Muis kembali ke Makassar setelah satu tahun di Jakarta. Atas desakan rekan-rekannya, Muis bergabung dengan Organisasi untuk Rakyat (Permesta). Organisasi tersebut sangat aktif mengkritisi kegiatan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan kebijakan pemerintah pusat yang sangat tersentralisasi. Di Permesta, Muis adalah koordinator departemen publikasi. Selain mengorganisir acara, Muis menjadi pemimpin redaksi Harian Tindinjau, dan majalah tersebut berganti nama menjadi Harian Bara (1956-1959). Muis terus mengutarakan aspirasi politiknya dengan mengedepankan ketimpangan antara pusat dan daerah. Menulis buruk bagi pemerintah. Karena itu, pemerintah pusat membubarkan Muis di Pusat Penahanan Militer Makassar (MTM) pada 1958 selama setahun.

    Dalam penahanannya, ia membuka lembaga pendidikan untuk memberantas buta huruf Darul Islam / Tentara Islam Indonesia (DI / TII) yang juga ditahan di RTM. Muis menilai kehidupan tapol sangat memprihatinkan. Oleh karena itu, ia melakukan kegiatan sosial bersama beberapa rekannya untuk mengumpulkan donasi dari luar, seperti sandang dan pangan. Ada pengalaman yang tidak bisa dilupakan. Suatu ketika Ketua RTM meminta Muis berpidato untuk memperingati deklarasi tersebut. Muis setuju, namun kemudian Muis terkejut karena penanggung jawab RTM hanya membacakan sambutannya tanpa ada koreksi. Padahal, isi pidatonya sarat kritik terhadap pemerintah pusat. Baru kemudian dia mengetahui bahwa penanggung jawab RTM juga tidak puas dengan pemerintah pusat. Di luar penjara, Muis melanjutkan kuliahnya di Fakultas Hukum Fakultas Ilmu Sosial Jurusan Propaganda Universitas Hasanuddin. Pada 1965, Muis menyelesaikan studinya di bidang hukum jurnalistik. Ia kemudian menjadi anggota fakultas Departemen Ilmu Penerbitan, yang kemudian masuk ke Sekolah Sosial Politik di Unhas. Pekerjaan Muis di media terus berlanjut. Tulisan-tulisannya yang keras untuk pemerintah masih menghiasi media massa. Oleh karena itu, tidak heran jika Muis mendapat pengawasan tambahan dari sang kolonel. Semua tindakan terkendali. Namun, situasi tersebut membawa berkah. Karena Muis bergabung dengan industri film Indonesia sebagai kolonel. Ia kemudian terpilih menjadi Komite Konsultatif Film Indonesia. Karena karyanya ini, Muis menerima Penghargaan Perintis Pengembangan Film pada tahun 1994. Toh, Muis tak melupakan tekadnya untuk meraih gelar doktor. Sayangnya, belum ada forum promosi doktor di bidang pendidikan tinggi ilmu komunikasi.

    Oleh karena itu, Muis menggunakan keanggotaan Pusat Penelitian dan Informasi Komunikasi Massa Asia yang berkantor pusat di Singapura untuk pembelajaran nonformal. Selain itu, ia juga belajar jarak dengan menjalin korespondensi dengan beberapa pakar komunikasi dan jurnalistik internasional. Beberapa dosen jarak jauh adalah profesor. Lyle Webster (Hawaiian East-West Center), Ph.D. Laura Olson (Laura Olson), Judith Leyse (Universitas Washington), Profesor Zhu Chenghua (Universitas Nasional Taiwan) dan Barbara Silars Harvey (Universitas Cornell).

    Pada tahun 1982, Muis mempertahankan tesisnya "Penelitian tentang Modernisasi Masyarakat dan Komunikasi Massa Terkait Pengenalan TV", yang akhirnya memperoleh gelar Ph.D. bidang Komunikasi dari Universitas Hasanuddin. Setahun kemudian, Muis diangkat menjadi guru besar di Universitas Hasanuddin. Lembaga yang sama juga menobatkan Muis sebagai alumni terbaik tahun 1996. Di tahun yang sama, Muis mendapat penghargaan dari Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) atas jasanya dalam pengembangan ilmu komunikasi. Muis mengaku kesuksesannya tidak bisa diraih tanpa bantuan istrinya Hajah Yohana. Muis dengan bercanda mengira bahwa istrinya adalah kepala eksekutif.

    Muis mengaku pertama kali bertemu Yohana pada acara temu mahasiswa Universitas Sulawesi Selatan di Jakarta pada 1955. Sepulang dari Jakarta, hubungan ini terus berkembang dengan serius. Setelah tiga tahun, mereka setuju untuk menikah. Pernikahan ini melahirkan seorang putri, Andy Dean Andrea Sucamawati. Hingga usia senja, mantan pimpinan Universitas Terbuka Makassar ini tinggal bersama istrinya (yang meninggal lebih dulu) di ruang kuliah Universitas Hasanuddin Baraya Makassar. Ditemani Fauziah, cucu pertama dari anak satu-satunya.

    Muis kerap menjadi saksi ahli dalam kasus-kasus terkait kebebasan pers, dan kerap menulis artikel tentang isu komunikasi, jurnalisme, hukum dan demokrasi di berbagai media. Dalam seminggu, ia menulis tiga hingga empat artikel, yang kemudian dikirim ke berbagai media massa lokal dan nasional. Di telinga Orde Baru, kerja Komisi Etik Komisi Pemberantasan Korupsi (ACC) Sulawesi Selatan kerap membingungkan. Karenanya, tak heran bila ia kerap "stres". Setelah era reformasi, keadaan telah berubah, dan hanya sedikit faktor lain yang dapat menghambat kebebasan menulis. Namun, Muis memperingatkan agar kebebasan ini tidak disalahgunakan. Menurut laporan Ketua Dewan Pengawas Persatuan Jurnalis Independen di Sulawesi Selatan (AJI) (No. 50 / V tanggal 30 Oktober 1999) yang ditulis GATRA, kebebasan pers harus tetap terikat oleh undang-undang.

 

Sumber : Tokoh Indonesia. Pejuang Kebebasan Pers [Andi Abdul Mukti]. https://tokoh.id/biografi/1-ensiklopedi/pejuang-kebebasan-pers/. diakses pada 05 Maret 2021.

 

Komentar